فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ اَنِّيْ لَآ اُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى
(Qs: Al Imron-195)
Sengaja tulisan ini saya buka dengan ayat Al-Quran agar lebih berkah, biarlah arti dan tafsirnya ditanyakan kepada yang lebih ahli.
Namun terlepas dari penafsiran para ahli, ayat tersebut sangat sensitif gender dan akan saya kaitkan dengan tulisan ini.
Ayat di atas secara umum menerangkan bahwa tidak hanya doa laki-laki yang dikabulkan Tuhan, perempuan juga mempunyai kesempatan yang sama.
Tuhan tidak menyepelekan amal atau kebaikan perempuan, pun juga laki-laki semua sama-sama akan mendapat feedback dari apa yang telah dilakukannya, karena tidak ada yang paling unggul dari keduanya.
Ayat itu menunjukkan salah satu letak kesetaraan laki-laki dan perempuan, ayat itu pula yang menjadi salah satu dalil para pemikir feminisme dari kalangan Islam, salah satunya Fatimah Mernissi. Sehingga lahirlah kemudian ‘Fatimah-Fatimah Baru’, khusunya di Indonesia.
Di Indonesia pun banyak aktivis feminisme, namun tulisan ini saya khususkan untuk organisasi sayap dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yaitu Korps PMII Putri yang biasa kami sebut KOPRI.
Mahasiswi-mahasiswi yang tergabung di organisasi PMII, ia akan menempati ruang khusus, bernama KOPRI yang kelak akan membentuk peradabannya sendiri.
Di usia ke 54 tahun ini, KOPRI telah banyak berkontribusi mengisi ruang-ruang publik di negeri ini baik sebagai bupati, wakil bupati, gubernur, wakil gubernur, DPR RI, bahkan sebagai Menteri di republik ini.
Saya tidak akan menyebutkan namanya, biarkan pembaca yang budiman mencari tahu sendiri yang jelas itu fakta. Karena bukan itu esensi yang akan saya sampaikan dalam tulisan ini.
Hak KOPRI Membentuk Budaya
Pilihan kader KOPRI ada dua selebihnya terserah mau ngapain. Pertama, ia harus menjadi pemimpin di bidang apapu tanpa melupakan kodratnya sebagai perempuan.
Kalau tidak bisa melakukan yang pertama, maka pilihan kedua harus bisa mengantarkan suaminya menjadi pemimpin. Arti mengantar bukan hanya menemani, melayani, masak buat suami sampai puncak kesuksesan akan tetapi menjadi konseptor dan penggerak bagi suaminya. Tentu hal ini membutuhkan kualitas intelektual yang lebih dari laki-laki.
Sayangnya, masih banyak kader KOPRI yang bergantung pada budaya patriarkhi. Di tubuh PMII sendiri kader KOPRI masih belum menjadi aktor atau konseptor dalam penentu sebuah arah gerakan.
Bahkan ketika menikah dengan sesama kader PMII, kebanyakan—bukan berarti semua ya—kader KOPRI masih terbelenggu dengan ideologi patriarkhi.
Sehingga sensitif gender yang ditanam di tubuh KOPRI masih terlihat kabur. Lantas apa yang harus dilakukan oleh KOPRI? Saya tidak tahu persis ini akan menjadi solusi atau tidak, namun apapun yang saya sampaikan merupakan bentuk kasih sayang saya terhadap KOPRI.
Jadi begini, kader-kader KOPRI harus bisa menguasai tubuhnya, menelanjangi dengan kata-kata sambil menyanyi dan menari dengan kalimat-kalimat yang ekspresif, imajinatif dan rasionalitas.
Artinya, kader-kader KOPRI harus mengusai tubuh dan pikirannya yang hari ini masih dikuasai oleh laki-laki dengan cara menuangkan pikirannya ke dalam sebuah tulisan.
Semisal dalam mengangkat isu-isu kritis dan tabu tentang perempuan, kader-kader KOPRI sebisa mungkin dapat menuangkannya ke dalam sebuah tulisan.
Meminjam konsep Helene Cixous, seorang pemikir feminisme modern, ia membagi tulisan menjadi dua jenis yakni tulisan maskulin dan feminine. Tulisan maskulin menggunakan bahasa lugas, rasional, dan blak-blakan. Sedangkan tulisan feminin lebih mengutamakan ekspresi dan imajinasi.
Berbeda dengan konsep Cixous, kader KOPRI harus bisa menggabungkan tulisan maskulin dan feminine. Dimana tulisan itu bisa menggabungkan antara ekspresi, imajinasi tapi rasional.
Sehingga menghasilkan tulisan yang dapat diterima akal, dengan gaya tutur yang ramah, santun dan mencerahkan generasi perempuan digital. Bukan tulisan-tulisan yang bahasanya jelimet, bahasa komunitas, yang bisa dipahami di lingkungan PMII atau akademisi saja.
Apalagi tulisan yang dari awal isinya hanya komparasi teori, atau perbandingan antara aktivis-aktivis perempuan yang satu dan lainnya. Apakah itu ada? Ya ada, karena saya pernah membacanya, dan sempat dibahas bersama Ketua Bidang Kaderisasi KOPRI PB PMII.
Buatlah tulisan yang dipahami oleh semua kalangan, khususnya generasi digital. Sebab keberhasilan KOPRI bukan menyadarkan kader-kader KOPRI saja dalam persoalan sensitif gender, tapi juga perempuan-perempuan di luar KOPRI.
Sehingga dengan tulisan, kader KOPRI dapat membentuk peradaban atau budayanya sendiri. Apapun bidang yang digeluti, namun menulis adalah tetap sebuah kewajiban. Lebih-lebih jika seluruh kader KOPRI baru dianggap sebagai kader bila melahirkan minimal satu buku. Di situlah bentuk keseksian dan kecantikan kader KOPRI yang sebenarnya.
Selanjutnya, kaitanya dengan kesetaraan perempuan dan laki-laki, bukan berarti porsinya disamakan, tapi justru perempuan harus sedikit lebih diunggulkan termasuk perempuan yang tergabung di dalam PMII.
Misalkan dalam hal pemilihan Ketua Umum PB PMII yang akan datang, perempuan berhak dipilih dan memilih sama halnya kader laki-laki. Porsi kesetaraan seperti itu tetap menguntungkan kader laki-laki, karena budayanya masih patriarkhi tetap laki-laki yang memenangkan pertarungan. Sudah kalah start di awal.
Kesetaraan yang mungkin benar adalah sedikit lebih mengunggulkan perempuan, misalkan dibuatkan aturan bahwa kongres PMII dapat diselenggarakan apabila Calon Ketua Umum PB PMII terdiri dari kader laki-laki dan kader perempuan yang masing-masing mendapatkan porsi 50% kursi bakal calon.
Jika tidak maka kongres tidak bisa diselenggarakan. Kalau begitu kan keren? Sama halnya juga di PBNU, kader KOPRI kelak harus melahirkan Ketua Umum PBNU. Ingat saja ayat pembuka di atas!
Terakhir, Dirgahayu Korps Putri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia! (Penulis : Fata Pujangga)*
*Founder GENDEDI (Gen Demokrasi Digital Indonesia), Penulis Novel Melawan Kenangan, Buku Empat Bait untuk Tuhan dan Buku Mimpi Negeri Revolusi.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Redaksi |
Editor | : Lutfi Hidayat |
Komentar & Reaksi