PROBOLINGGO - Budidaya ternak ayam menjadi salah satu jenis peluang usaha yang menjanjikan dari segi pendapatan ekonomi.
Daging ayam yang menjadi kebutuhan penting pemenuhan gizi bagi masyarakat menjadikan budidaya ternak ayam semakin diminati.
Tips untuk mempercepat perkembangan bibit ayam juga banyak bermunculan, salah satunya adalah dengan memisahkan anak ayam dari induknya.
Lalu bagaimana hukum fiqih menyikapi hal tersebut?
Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Kabupaten Probolinggo membahas problematika ternak ayam dengan memisahkan anak ayam dari induknya, berikut penjelasannya.
Fiqih Islam menghukumi pemisahan anak ayam dari induknya sebagai hal yang makruh (dibenci Allah) dengan syarat tercukupi perawatan dan kebutuhan anak ayam tanpa induk, kebutuhan itu juga meliputi kenyamanan kandang anak ayam seperti pemberian lampu.
Jika kebutuhan dalam perawatan anak ayam itu tidak tercukupi maka haram hukumnya.
Hukum makruh tersebut berdasarkan faktor pemisahan anak ayam bukan untuk kebutuhan untuk disembelih, jika pemisahan bertujuan menyembelih hukumnya boleh tanpa rincian (mutlak).
Berikut referensi pendapat ulama fiqih yang dikemukakan:
فرع: قال أصحابنا التفريق بين البهيمة وولدها بعد استغنائه عن اللبن، إن كان لغرض مقصود كالذبح جاز، وإلا فهو مكروه، ولا يحرم على المذهب
المجموع شرح المهذب للإمام النواوي ٩/٣٦٢
"(Pengembangan masalah) : Para ashab kita (syafiiyah) berkata; memisah hewan ternak dari induknya setelah tercukupi kebutuhan tanpa air susu induknya, jika karena tujuan seperti menyembelih hukumnya boleh, jika tidak karena tujuan itu hukumnya makruh dan tidak haram dalam madzhab Syafii".
(Al-Majmu' Syarah Al-Muhaddzab, Imam Nawawi juz. 09 Hal. 362).
Pendapat lain yang masih dalam madzhab Syafii menghukuminya haram, berikut pendapat ulama yang mendasarinya:
أن غير الآدميّ يجوز التفريق بينه وبين أمه، وهو المذهب إن استغنى عن اللبن، لكن يُكره، وقيل: يحرم؛
مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج للشيخ الشربيني خطيب ٢/٣٨*
"Sesugguhnya selain manusia (hewan) itu boleh dipisahkan dari induknya dan ini madzhab Syafii, dengan syarat sudah tercukupi kebutuhan tanpa air susu induknya (kebutuhan pakan dan kandang) namun hukumnya makruh satu pendapat haram".
(Mughni Al-Muhtaj Ila Ma'rifati Ma'ani Al-Fadzi Al-Minhaj. As Syekh Syarbini Khothib, juz 2 Hal. 38)
Namun hasil keputusan Bahtsul Masail LBM NU Kabupaten Probolinggo lebih menggunakan pendapat pertama dengan dasar perincian masalah yang lebih spesifik dibandingkan pendapat kedua.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Redaksi |
Editor | : Lutfi Hidayat |
Komentar & Reaksi